Lebih dari 60% Anak Sekolah Akses Internet untuk Media Sosial

Kehadiran internet telah membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Saat ini, internet bahkan sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat terpisahkan. Internet menciptakan kemudahan dalam berbagai aktivitas manusia, mulai dari komunikasi hingga membeli barang dan jasa semua dapat dilakukan dengan mudah melalui sentuhan jari.
Pertumbuhan internet juga mendorong kemunculan berbagai platform media sosial. Saat ini media sosial bukan hanya sekadar alat untuk berkomunikasi, tetapi sudah bertransformasi menjadi sebuah ruang ketiga bagi manusia untuk bertemu dan bertukar pikiran.
Di samping berbagai dampak positif yang dihasilkan, media sosial juga memiliki sisi negatif yang cukup berbahaya, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Beberapa hal negatif seperti kecanduan media sosial, kemudahan mengakses konten pornografi, potensi penipuan dan serangan siber, serta berbagai risiko berbahaya lainnya mengancam kualitas hidup anak-anak dan remaja.
Berdasarkan laporan Statistik Pendidikan 2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), hampir seluruh peserta didik umur 5-24 tahun menggunakan internet untuk mencari hiburan, yakni mencapai 90,76%. Selain mencari hiburan, 67,65% peserta didik juga menggunakan internet untuk mengakses media sosial.
Aktivitas mencari informasi/berita melalui internet juga banyak dilakukan oleh para peserta didik, diperkirakan sebanyak 61,65% peserta didik memakai internet untuk mengakses informasi/berita.
Pembelajaran daring tampaknya menjadi aktivitas yang kurang popular di kalangan peserta didik, hanya 27,53% peserta didik yang menggunakan internet untuk kegiatan tersebut. Kemudian, diperkirakan sebanyak 16,42% peserta didik menggunakan internet untuk mencari informasi suatu barang/jasa.
Melihat tingginya peserta didik yang memakai internet untuk media sosial, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, mengungkapkan bahwa pemerintah berencana akan melakukan pembatasan umur untuk mengakses media sosial.
“Pada prinsipnya begini, sambil menjembatani aturan yang lebih ajeg, pemerintah akan mengeluarkan aturan pemerintah terlebih dahulu (mengenai pembatasan usia untuk mengakses media sosial), sambil kemudian kajian yang terkait dengan perlindungan anak lebih kuatnya lagi, yang memang tidak bisa di ranah kementerian karena harus melibatkan DPR itu juga akan kita siapkan. Kita akan keluarkan peraturannya sambil bicara dengan DPR mengenai undang-undang seperti apa yang bisa kita keluarkan untuk melindungi anak-anak kita," ucap Meutya pada Keterangan Pers di Jakarta, (13/1/2025).
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah indikator yang digunakan untuk mengetahui jumlah tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja. Seseorang dikatakan sebagai pengangguran terbuka apabila Ia tengah aktif mencari pekerjaan atau memulai usaha tapi belum bekerja sama sekali.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh merilis data terbaru yang yang menunjukkan tingkat pengangguran di provinsi tersebut. Menurut data, tingkat pengangguran terbuka di Aceh tercatat sebesar 5,50%. TPT ini turun 0,06% poin dibandingkan Februari 2024 yang menyentuh angka 5,56%.
TPT Aceh pada Februari 2018 sempat mencapai angka 6,55%. Pada dua tahun berikutnya, terjadi penurunan sebesar 1,02% pada Februari 2019 dan 0,11% di Februari 2020. Setelahnya pada Februari 2021, TPT kembali naik hingga menyentuh angka 6,3%.
Hingga empat tahun terakhir, TPT terus mengalami penurunan. Pada Februari 2022, TPT menyentuh angka 5,97%. Kemudian turun di tahun-tahun berikutnya, yaitu sebesar 5,75% pada Februari 2023 dan 5,56% di Februari 2024.
Pada Februari 2025, TPT di daerah perkotaan lebih tinggi yaitu sebesar 7,28%, dibandingkan dengan pedesaan sebesar 4,42%. TPT laki-laki sebesar 6,49% lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya sebesar 3,91%.
Sejauh ini, Aceh masih menempati posisi tertinggi setelah Maluku (5,95%) dan Sumatra Barat (5,69%).
Tingkat pengangguran yang masih tinggi ini kerap kali memunculkan permasalahan lain. Tidak adanya penghasilan menimbulkan daya beli keluarga menjadi rendah sehingga mengakibatkan kurangnya asupan gizi pada balita dan Ibu hamil yang berdampak pada kasus stunting. Pengangguran juga akan berdampak pada tingginya angka kemiskinan.
Dilansir dari SerambiNews, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan FISIP UIN Ar-Raniry Bada Aceh Eka Januar mengungkapkan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menindaklanjuti angka pengangguran yang tinggi. Pertama yaitu pemberdayaan ekonomi lokal berbasis unggulan, kemudian peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), dan Investasi infrastruktur berkelanjutan.
Eka Januar beranggapan bahwa pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan hal yang krusial.
"Pemerintah perlu memfasilitasi akses permodalan, pelatihan, manajemen, dan pemasaran produk UMKM agar mampu bersaing dan menciptakan lapangan kerja," ungkapnya pada Rabu (21/5/2025).
Baca juga:
5 Tren SEO untuk tahun 2025
Setiap tanggal 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia, sebuah momentum untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya merokok terhadap kesehatan masyarakat. Namun, merokok masih lekat dengan stigma sosial yang mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap laki-laki. Dalam kerangka budaya patriarki, maskulinitas sering kali dikaitkan dengan perilaku merokok. Hal ini menyebabkan merokok dianggap sebagai simbol kedewasaan, keberanian, bahkan kewibawaan, yang pada akhirnya menjadikan kebiasaan ini sulit dilepaskan dari identitas pria di banyak daerah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, tercatat Provinsi Lampung menempati urutan pertama sebagai provinsi dengan perokok terbanyak, dengan 33,84% penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok selama sebulan terakhir. Peringkat berikutnya diisi oleh Jawa Barat dengan 32,98%, serta Bengkulu di posisi ketiga sebesar 32,96%. Angka-angka ini menunjukkan bahwa prevalensi merokok masih tinggi di sejumlah wilayah Indonesia.
Jika dilihat dari klasifikasi wilayah, persentase perokok di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan (BPS). Temuan ini mencerminkan bahwa kebiasaan merokok lebih mengakar di masyarakat desa, yang bisa jadi disebabkan oleh akses informasi kesehatan yang terbatas, tekanan sosial yang berbeda, hingga faktor ekonomi yang menjadikan rokok sebagai bentuk rekreasi murah.
Lebih dari sekadar kebiasaan, merokok telah menjadi bagian dari budaya keseharian. Banyak masyarakat menjadikan rokok sebagai teman memulai hari, pelengkap setelah makan, atau sebagai pendamping ketika menikmati kopi atau teh. Kebiasaan ini berlangsung lintas generasi dan menjadikan upaya berhenti merokok sebagai tantangan tersendiri bagi banyak orang.
Dampaknya tidak berhenti pada kebiasaan semata, rokok juga menjadi pemicu utama berbagai penyakit kronis. Mulai dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kanker paru, jantung koroner, hingga stroke. Merokok juga meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Efek jangka panjang ini sering kali tidak langsung terlihat, tetapi terus menggerogoti kualitas hidup masyarakat.
Namun di balik kebiasaan tersebut, dampak kesehatan yang ditimbulkan sangat serius. Data WHO mencatat bahwa rokok menyebabkan sekitar 8 juta kematian setiap tahun secara global, dengan lebih dari 73,1% pria mendominasi proporsi perokok. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) di tahun 2023 mencatat jumlah perokok diperkirakan mencapai 70 juta jiwa.
Kendati industri rokok masih menjadi salah satu penyumbang ekonomi nasional, terutama dari sisi cukai, dampak kesehatan jangka panjang yang ditimbulkannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Maka dari itu, pengendalian terhadap industri rokok baik melalui regulasi, edukasi, maupun kebijakan harga perlu diperkuat agar masyarakat Indonesia tidak terus terjebak dalam siklus adiksi yang berdampak pada kualitas hidup secara luas.
Pekerjaan merupakan salah satu indikator kesuksesan di masa depan. Tidak hanya bagi individu itu sendiri, tetapi juga bagi para orang tua yang berharap anak-anak mereka tumbuh dalam kehidupan yang stabil, layak, dan bermakna. Dalam konteks keluarga, pilihan profesi anak menjadi bagian dari harapan jangka panjang yang dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, dan persepsi terhadap dunia kerja.
Jakpat dalam laporan Parenting Trends in Indonesia yang dirilis Februari 2025 mengungkapkan bagaimana orang tua Indonesia memandang masa depan karier anak-anak mereka. Dari total 494 responden orang tua yang berpartisipasi, mayoritas menyatakan pentingnya masa depan pekerjaan anak. Tercatat sebanyak 49% orang tua dari berbagai generasi; Gen Z, Milenial, dan Gen X sepakat menyatakan bahwa mereka ingin membiarkan anak memilih pekerjaannya sendiri.
Orang tua dari kalangan Gen Z cenderung memilih wirausaha dan profesi di bidang kedokteran sebagai pekerjaan impian bagi anak-anak mereka, dengan masing-masing persentase 38% dan 34%. Harapan ini mencerminkan keinginan orang tua agar anak memiliki masa depan cerah sekaligus berdampak sosial.
Sementara itu, profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi salah satu pilihan populer lainnya, khususnya di kalangan orang tua milenial. PNS menjadi opsi populer karena realita pasar kerja saat ini menunjukkan peluang kerja semakin terbatas, sementara kompetisi antar pencari kerja semakin ketat. Bagi sebagian orang tua, kondisi ini menjadi pertimbangan untuk mendorong anak memilih profesi yang dianggap stabil dan memiliki jenjang karier yang jelas, dan jaminan di masa depan seperti PNS atau profesi formal lainnya.
Menurut Psikolog Samanta Elsener, terdapat berbagai faktor yang membuat orang tua merasa perlu mencarikan pekerjaan untuk anaknya. Salah satunya adalah karena anak kerap merasa kebingungan dalam menentukan pilihan karier, sehingga orang tua mengambil peran untuk mengarahkan, bahkan menetapkan jalur profesi tertentu.
"Anak bergantung pada orang tua untuk mencarikan pekerjaan karena masih bingung dengan pilihan pekerjaan," ujar Samanta ketika diwawancarai Kompas.com, Rabu (18/12/2024).
Meski begitu, cukup banyak orang tua yang memilih untuk tidak terlalu membatasi atau menentukan arah profesi anak. Keinginan untuk membiarkan anak memilih sendiri biasanya didasarkan pada alasan perkembangan zaman, perubahan kebutuhan dunia kerja, dan pentingnya mengenali minat anak secara personal.
Fenomena ini menjadi potret persepsi tentang masa depan anak tengah bergerak ke arah yang lebih adaptif. Harapan orang tua terhadap profesi anak masih ada, namun mulai disertai ruang dialog terbuka dengan anak untuk menyesuaikan dengan dinamika dunia kerja yang terus berubah.
Per Mei 2025, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 284,44 juta orang, menjadikannya negara dengan populasi terbesar keempat di dunia setelah India, China, dan Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, sekitar 50,47% penduduk adalah laki-laki dan 49,53% perempuan. Pertumbuhan penduduk ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pada kelompok usia 0–49 tahun, jumlah penduduk laki-laki secara konsisten lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun, tren ini berbalik pada kelompok usia 50 tahun ke atas, di mana jumlah perempuan mulai melampaui laki-laki, dengan selisih yang semakin mencolok pada usia 75 tahun ke atas.
Fenomena ini dapat dikaitkan dengan perbedaan harapan hidup antara laki-laki dan perempuan, serta faktor-faktor lain seperti akses terhadap layanan kesehatan dan gaya hidup. Perempuan cenderung memiliki harapan hidup yang lebih tinggi, yang berkontribusi pada dominasi jumlah mereka di kelompok usia lanjut.
Secara geografis, data dari BPS mencatat Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia pada tahun 2024, dengan populasi mencapai sekitar 50,34 juta jiwa. Provinsi lain dengan jumlah penduduk besar meliputi Jawa Timur (41,81 juta jiwa) dan Jawa Tengah (37,89 juta jiwa).
Pemerintah juga menyoroti pentingnya pengelolaan data demografi dalam menghadapi tantangan masa depan. Presiden ke-7 Joko Widodo kala itu menekankan bahwa perlu ada persiapan matang untuk mengantisipasi beban perkotaan, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Dalam forum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), mantan Presiden Indonesia itu menyampaikan bahwa pada tahun 2045, sekitar 70% penduduk Indonesia diprediksi akan tinggal di wilayah perkotaan. Hal ini menjadi perhatian serius dalam perencanaan tata ruang, infrastruktur, dan pelayanan publik yang berkelanjutan.
”Oleh sebab itu, rencana kota secara detail harus dimiliki setiap kota di Indonesia,” kata Jokowi dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Apeksi XVII Tahun 2024 di Balikpapan Sport and Convention Center, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (4/6/2024) dilansir dari Kompas.id.
Dengan memahami proporsi penduduk berdasarkan jenis kelamin dan distribusinya, pemerintah dan pemangku kepentingan dapat merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk menghadapi tantangan demografi di masa depan.
Menurut hasil perhitungan sensus penduduk yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) total penduduk Indonesia hingga kini mencapai 284,44 juta jiwa. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka ini mengalami kenaikan sekitar 3 juta jiwa dari semula sebesar 281,60 juta jiwa. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara populasi penduduk terpadat nomor 4 sedunia.
Baca juga:
5 Tren SEO untuk tahun 2025
Dalam penyajian datanya, BPS melakukan kategorisasi berdasarkan kelompok umur yang dibagi ke dalam 16 bagian dengan rincian sebagai berikut:
Kelompok umur 0-4 tahun: 22,75 juta jiwa (8%)
Kelompok umur 5-9 tahun: 21,95 juta jiwa (7,72%)
Kelompok umur 10-14 tahun: 22.02 juta jiwa (7,74%)
Kelompok umur 15-19 tahun: 22,09 juta jiwa (7,77%)
Kelompok umur 20-24 tahun: 22,16 juta jiwa (7,79%)
Kelompok umur 25-29 tahun: 22,51 juta jiwa (7,91%)
Kelompok umur 30-34 tahun: 22,19 juta jiwa (7,8%)
Kelompok umur 35-39 tahun: 21,72 juta jiwa (7,64%)
Kelompok umur 40-44 tahun: 20,68 juta jiwa (7,27%)
Kelompok umur 45-49 tahun: 19,63 juta jiwa (6,9%)
Kelompok umur 50-54 tahun: 17,60 juta jiwa (6,19%)
Kelompok umur 55-59 tahun: 15,17 juta jiwa (5,33%)
Kelompok umur 60-64 tahun: 12,36 juta jiwa (4,35%)
Kelompok umur 65-69 tahun: 9,27 juta jiwa (3,26%)
Kelompok umur 70-74 tahun: 6,34 juta jiwa (2,23%)
Kelompok umur 75 tahun ke atas: 5,97 juta jiwa (2,1%)
Proporsi terbesar diisi oleh kelompok umur pertama, yaitu 0-4 tahun dengan total 22,75 juta penduduk. Adapun rincian jenis kelaminnya ialah sebanyak 11,61 juta jiwa (51%) laki-laki dan 11,15 juta jiwa (49%) perempuan.
Sedangkan proporsi terkecil sebanyak 5,97 juta jiwa dari kelompok umur 75 tahun ke atas, dengan jumlah penduduk laki-laki sejumlah 2,6 juta jiwa (44%) dan perempuan sebanyak 3,36 juta jiwa (56%).
Dalam data CIA pada jajaran negara se-Asia Timur dan Tenggara, Indonesia menempati peringkat ke-8 dengan estimasi angka kelahiran senilai 1,96 yang berarti sebanyak 1,96 anak lahir dari setiap perempuan. Angka ini tergolong di atas rata-rata.
Baca juga:
10 Alat SEO AI Terbaik (Mei 2025)
Sebelum berdampak pada bonus demografi Indonesia mendatang, pengendalian laju kelahiran bukan hanya urusan rumah tangga atau kampanye keluarga berencana semata, melainkan harus dilihat sebagai bagian dari strategi nasional jangka panjang.