Siasat agensi dan marketing saat diserbu AI, bertahan atau berubah?

Siasat agensi dan marketing saat diserbu AI, bertahan atau berubah?
IKUTI INSIGHT RUMAHMEDIA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Mulai dari rekomendasi film di Netflix hingga barang-barang di e-commerce, kecerdasan buatan (AI) mengubah cara pemasaran dan menggeser fokus para tenaga pemasar ke hal yang lebih substansial. Namun, masih ada isu soal catch-updengan teknologi yang berkembang amat cepat ini.

Christina Inge, instruktur di Divisi Pengembangan Profesional dan Eksekutif Harvard Division of Continuing Education, pun menyebut adaptasi AI penting buat karier sekaligus "pendorong efisiensi" di bidang pemasaran.

"Pekerjaan Anda tidak akan digantikan oleh AI," kata dia, yang juga merupakan penulis buku 'Marketing Analytics: A Comprehensive Guide and Marketing Metrics' itu, dalam keterangannya.

"Pekerjaan Anda akan digantikan oleh orang yang tahu cara memakai AI. Jadi, sangat penting bagi pemasar untuk mengetahui cara menggunakannya," lanjut Inge.

Peringatan Inge ini bukan sekadar retorika. Data menunjukkan transformasi sedang berlangsung dan Indonesia tidak tertinggal dalam adaptasi ini.

Momentum transformasi yang tak terelakkan
Riset bertajuk 2025 State of Marketing AI Report menegaskan pandangan Inge soal pentingnya AI, terutama dalam bidang pemasaran. Bahwa, 74% tenaga pemasar menyebut AI amat krusial (critically important) (35%) atau sangat penting (very important) (39%). Rinciannya, pihak yang menyebut AI amat krusial naik 8% dari rata-rata tahun lalu (35% dari sebelumnya 28%), dan yang menyebut sangat penting naik dari 38% di 2024 menjadi 39% di tahun ini.

Motif penggunaan AI itu antara lain:

mengurangi waktu pada pekerjaan repetitif, tugas berbasis data (82%)
Mendapatkan wawasan yang lebih bisa ditindaklanjuti dari data marketing (65%)
Mempercepat pertumbuhan pendapatan (63%)
Mendapatkan nilai yang lebih besar dari teknologi marketing (59%)
Menghasilkan tingkat pengembalian investasi (ROI) yang lebih besar pada kampanye (58%)
Di Indonesia, momentum ini tercermin dalam respons agensi-agensi terkemuka yang tidak lagi memandang AI sebagai eksperimen, melainkan kebutuhan strategis.

Strategi adaptasi: Dari eksperimen ke implementasi

Jonathan Patrick, Public Relations Manager di Ogilvy Indonesia, mengungkap penggunaan kecerdasan buatan generatif (GenAI) sebagai rekan kerja tak terhindarkan. Yang penting, ada proses kaji ulang atas 'hasil kerja' AI tersebut dan menambahkan sentuhan manusia.

"Tergantung penerapannya buat apa. AI ini erat kaitannya dengan harnessing, enggak plek-ketiplek dalam pembuatan dokumen, siaran pers," kata Jonathan, dalam wawancara daring, Senin (4/7/2025).

Pendekatan terstruktur ini bukan kebetulan. Beberapa proses yang dibolehkan untuk dilakukan bersama AI ini kebanyakan pada tahap awal dan tengah project; di antaranya adalah pencarian data dan inspirasi, teman diskusi, hingga penyusunan rencana. Dampaknya terhadap produktivitas? Signifikan. Seorang staf yang biasa memegang satu klien kini bisa memegang dua.

"Karena produktivitas bagus, kita lebih bisa berkarya, berkontribusi lebih lagi di perusahaan. Itu karena utilize AI," tutur Jonathan.

Senada, Baba Hazuria, Head of Digital, Strategic Planning and Advisor to Board di Iris Indonesia, menegaskan adopsi akal imitasi ini bukan sekedar takut ketinggalan (FOMO). Ini adalah kebutuhan bisnis.

"Tentu saja, adopsi AI bukan lagi opsional atau didorong oleh tren, melainkan sebuah pendorong strategis," ungkapnya, dalam keterangan tertulis, Rabu (16/7/2025).

"Dalam kasus kami, AI telah mengubah cara kami mendekati riset, pengembangan konten, dan analisis data. AI meningkatkan kecepatan dan kedalaman, memungkinkan kami menghasilkan karya yang lebih matang dengan lebih cepat," tutur Hazuria, yang juga menjabat Principal Marketing and Technology Consultant di Flourish itu.

"Dengan AI, kita menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menghasilkan dan lebih banyak waktu untuk menyempurnakan."

Namun produktivitas yang meningkat ini memunculkan pertanyaan krusial: bagaimana dengan masa depan tenaga kerja?

Investasi strategis: Keamanan data vs efisiensi

Pengakuan soal pentingnya AI itu beranjak kepada pergeseran fokus investasi perusahaan modern ke bidang akal imitasi tersebut dengan satu prioritas utama: kontrol data.

Iris, menurut Baba Hazuria, berinvestasi lewat pengembangan kecerdasan buatan internal yang dipersonalisasi yang bisa digunakan secara luring (offline). Sistem ini merupakan hasil pengembangan dari model GPT. Tujuannya ialah terutama untuk menghindari risiko kebocoran data klien.

"Ini memberi kami kendali penuh, mulai dari gaya komunikasi hingga konteks merek, menjadikan keluarannya lebih tajam, lebih aman, dan lebih selaras dengan cara kerja kami," kata Hazuria.

Pendekatan serupa ditempuh WPP, induk usaha dari Ogilvy, dengan merilis GenAI khusus untuk penggunaan internal, yakni WPP Open. Ini merupakan hasil gabungan tiga model AI milik Anthropic, Google, dan OpenAI.

"Kita malah enggak boleh pakai ChatGPT buat kepentingan pekerjaan," ungkap Jonathan, menegaskan betapa seriusnya keamanan data dalam strategi AI.

Investasi ini bukan sekadar soal sarana, tetapi restrukturisasi fundamental organisasi. Microsoft Work Trend Index 2025 mengungkap 78% pemimpin perusahaan mempertimbangkan perekrutan untuk posisi khusus AI. Di Perusahaan Frontier, yang ditenagai AI dengan tim gabungan agen AI dan manusia, persentasenya melonjak menjadi 95%.

Yang paling dicari? Pelatih AI (32%), spesialis data (32%), spesialis keamanan AI (31%), dan spesialis agen AI (30%), posisi-posisi yang menunjukkan bahwa AI bukan menggantikan manusia, melainkan menciptakan spesialisasi baru.

Tren ini mengarah pada pertanyaan yang lebih mendesak: siapa yang bertahan, siapa yang tergantikan?

Evolusi peran: Dari CMO tradisional ke Chief Market Officer

State of Marketing AI Report menunjukkan realitas yang menggelisahkan: 53% tenaga pemasar yakin pekerjaan marketing bakal digantikan AI, dengan hanya 24% lainnya memprediksi AI bisa menciptakan pekerjaan baru.

Jaslyn Qiyu, Managing Director and Founder Mad About Marketing Consulting, memberikan perspektif yang lebih nuansial. AI memang berpotensi menggantikan beberapa peran, tapi juga membuka peluang strategis baru:

Fungsi Marketing

Potensi Digantikan AI

Peluang Strategis

Analisis Data

Tinggi

Beralih dari pengumpulan data ke penggalian wawasan strategis

Optimasi Kampanye

Tinggi

Fokus pada konsep kampanye yang inovatif daripada mengubah parameter

Pembuatan Konten Dasar

Sedang

Fokus pada pesan strategis dan terobosan kreatif

Manajemen Saluran

Sedang

Kembangkan pengalaman omnichannel terintegrasi

Segmentasi Pelanggan

Tinggi

Buat strategi penargetan yang lebih canggih, psikografis, atau berbasis niat konsumen

"Sebaliknya, yang sedang terjadi adalah transformasi fundamental yang memberdayakan CMO untuk menjadi lebih strategis, kreatif, dan berdampak daripada sebelumnya," ujar Qiyu.

Baba Hazuria dari Iris sepakat: "Ancamannya bukan AI, tapi kelembaman (inersia)."

"Kami berinvestasi dalam kemampuan beradaptasi, menciptakan ruang untuk eksplorasi, dan memberi penghargaan kepada mereka yang mengintegrasikan AI ke dalam keahlian mereka. Di perusahaan kami, kelancaran menggunakan AI menjadi sama pentingnya dengan mengetahui cara membuat brief atau menulis," urai Hazuria.

Transformasi ini menuntut evolusi peran dari Chief Marketing Officer tradisional menjadi Chief Market Officer, pemimpin yang fokus membentuk permintaan, memprediksi niat pembeli, dan membuktikan dampak langsung pemasaran terhadap pendapatan.

Tiga pilar marketing AI yang mengubah permainan

Sally Revell, Founder dan CEO di The Why Factor Consulting, serta David Hayes, Executive Vice President of Go-To-Market Solutions di UnboundB2B, mengidentifikasi tiga area transformasi krusial dalam tulisan LinkedIn mereka:

1. Intelijen Pasar dan Penciptaan Permintaan Platform berbasis AI seperti 6sense dan Bombora menganalisis sinyal interaksi real-time, membantu CMO mengidentifikasi akun tertentu dengan niat konversi tinggi sebelum pesaing menyadarinya. Teknologi analitik prediktif memungkinkan pemasar mengantisipasi kebutuhan pelanggan dan menyesuaikan pesan seringkali sebelum pesaing bisa bereaksi.

2. Alat Strategi Pemasaran Bertenaga AI Dengan GenAI dan LLM khusus, pemasar kini bisa menciptakan konten yang sangat personal untuk menargetkan tidak hanya satu akun, tetapi seluruh organisasi, mengikuti market yang makin aktif di media sosial, konten pihak ketiga, dan komunitas yang tidak dapat dilacak.

3. Atribusi Pendapatan dan Dampak Bisnis AI memungkinkan pemasar beralih dari fokus di titik interaksi terakhir ke analisis dampak pendapatan yang sesungguhnya, mengoptimalkan alokasi anggaran dan meningkatkan ROI sambil menghubungkan tim pemasaran dengan semua divisi.

Namun di balik optimisme transformasi ini, muncul kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan.

Tantangan dan risiko: Kepercayaan vs efisiensi

Adopsi AI bukan tanpa risiko. Riset State of Marketing AI Report mengidentifikasi tantangan utama: kurangnya pelatihan dan edukasi (62%), kurangnya kesadaran dan pemahaman (52%), serta kekurangan sumber daya (41%).

Di tingkat praktis, agensi Indonesia mulai mengatasinya. Ogilvy Indonesia menggelar pelatihan penggunaan WPP Imagine secara berkala, termasuk mengajar staf membuat agent builder, platform untuk membangun agen AI atau botsendiri.

"Jadi bot bisa dibuat sebagai expert, dan kita bisa bercakap-cakap sama dia," ujar Jonathan.

Iris mengambil pendekatan yang berbeda: menumbuhkan budaya pembelajaran langsung melalui eksperimentasi. "Kami menyebutnya 'bekerja secara terbuka' (working in public). Begitulah cara kami mengubah keingintahuan intelektual individu menjadi kemampuan kolektif," kata Hazuria.

Namun tantangan yang lebih fundamental muncul dari sisi etika dan kepercayaan konsumen. Aqilla Abdurrahman Jundiy, Performance Marketing Manager di Milkyano Digital, mengingatkan bahaya ketergantungan berlebihan pada AI untuk konten marketing.

"Orang bakal mulai familiar dengan konten palsu, mereka bakal ngerasa kalau semua ini nggak nyata. Kepercayaan hilang, dan lo bakal kesulitan sebagai marketer," ujarnya, di LinkedIn.

"Marketing tanpa trust itu kosong. Tanpa trust, produk lo nggak ada artinya. Bukan anti AI ya, tapi penggunannya sekarang jelas melawan etika."

Peringatan Aqilla ini menggarisbawahi paradoks central adopsi AI: teknologi yang meningkatkan efisiensi bisa mengikis kepercayaan, fondasi utama marketing yang efektif.

Masa depan: Kolaborasi, bukan substitusi

Dengan makin luasnya investasi dan penggunaan AI, para praktisi Indonesia mengungkap bahwa klien pun tak masalah dengan pelibatan kecerdasan buatan dalam proses kerja sama, selama ada transparansi.

"Pola pikir sudah bergeser, dari rasa takut soal dilusi menjadi rasa ingin tahu tentang akselerasi. Kuncinya adalah transparansi, kami memahami dengan jelas kapan AI digunakan, dan di mana penilaian manusia sangat penting," kata Hazuria.

"Klien menginginkan kreativitas dan kecepatan, dan kami menunjukkan kepada mereka bahwa mereka tidak harus memilih," lanjutnya.

Jonathan dari Ogilvy menegaskan: "Intinya kembali ke manfaat AI dalam membantu manusia. Pekerjaan repetitif bisa dibantu AI agar hours untuk pekerjaan itu bisa dialihkan ke hal yang lebih strategis, seperti ketemu media, membuat planning."

Jaslyn Qiyu merangkum tantangan ke depan dengan jelas: CMO perlu mengembangkan literasi data, memahami dasar-dasar AI, mengukur dampak AI pada bisnis, mengelola perubahan tim, memastikan integritas data, dan mengawasi penggunaan AI secara etis.

"Masa depan kepemimpinan pemasaran bukan tentang manusia versus mesin, melainkan tentang kolaborasi yang kuat. CMO yang paling sukses adalah mereka yang memanfaatkan AI sebagai penggerak strategis, memperkuat dampaknya, mendorong pertumbuhan bisnis, dan menciptakan pengalaman pelanggan," urai Qiyu.

Transformasi yang sedang berlangsung ini bukan lagi soal pilihan, melainkan adaptasi yang menentukan siapa yang akan memimpin industri marketing Indonesia di era mendatang. Seperti yang diingatkan Christina Inge di awal: pekerjaan tidak akan digantikan oleh AI, melainkan oleh mereka yang tahu cara menggunakannya.